Oleh: Ichsan Mokoginta Dasin
PERTEMUAN Kapten Munzir dengan dua orang sahabatnya yakni Hasan Cik dan Marzuki Husin di rumah kediaman orangtua Munzir di Desa Petaling pada awal September 1945, membicarakan seputar keadaan keamanan di luar Pulau Bangka, khususnya di Pulau Jawa yang mulai memanas dan telah terjadi perlawan sengit antara rakyat Indonesia melawan Belanda.
Informasi mengenai adanya perlawanan rakyat melawan Belanda di Pulau Jawa ini, didapat Hasan Cik dan Marzuki Husin dari siaran radio yang disiarkan langsung dari Pulau Jawa (Jakarta). Keduanya meminta Munzir untuk mengkoordinir mantan Giyugun dan Heiho di Pangkalpinang agar bersama-sama bergabung dan membentuk ‘barisan perlawanan’ sebagaimana yang dibentuk di Pulau Jawa untuk mengantisipasi kalau-kalau Belanda dengan Sekutunya akan merebut kembali Bangka Belitung sebagai wilayah koloni. (Ichsan Mokoginta Dasin dan Dody Hendriyanto: 2008).
Saran dari Hasan Cik dan Marzuki Husin ini diterima oleh Munzir lalu menemui dua orang rekannya yang juga mantan Giyugun yakni Mayor H. Muhidin dan Badaruddin yang pada waktu itu masih tinggal di eks kompleks Giyugun Pangkalpinang (sekarang Sekolah Budi Mulia) di Jalan Jagal.
Pada saat Munzir dan kawan-kawan melakukan konsulidasi untuk membentuk BKR, di Pangkalpinang sudah terbentuk organisasi perjuangan yang dimotori oleh para pemuda yakni Angkatan Pemuda Indonesia (API) bermarkas di Jalan Sudirman Pangkalpinang (sekarang Griya Timah). Pencetusnya adalah Ismail Ali yang didukung oleh teman-temannya yakni Idris Sani, Abdullah Aziz, Arief Ahmad, Sumarsono, Muhammad Isya, Hamdani, Suryatin, Badar Muluk dan Bunyamin Rasidi.
Selain API, para tokoh masyarakat di Pangkalpinang juga membentuk organisasi perjuangan yang diberi nama Gerakan Rakyat Indonesia (GRI). Tujuan pembentukan API maupun GRI adalah untuk menjaga keamanan Pulau Bangka dari gangguan musuh.
Organisasi bentukan para pemuda dan tokoh masyarakat seperti API dan GRI ini, juga dibentuk di hampir seluruh wilayah di Indonesia, yang nama dan bentuknya disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing. Organisasi ini sangat mendukung upaya mensosialisasikan Proklamasi Kemerdekaan RI hingga ke pelosok-pelosok dan memberi manfaat yang besar terhadap upaya meningkatkan semangat juang rakyat Indonesia. (Drs. Pramono Dkk: 1983). Bahkan, organisasi perjuangan seperti API, GRI dan lain-lain ini pula yang oleh Belanda sering disebut dengan istilah ekstrimis. (Akhmad Elvian: 2006).
Dalam Catatan Perjuangan Munzir berjudul “Sepintas Kilas Kenangan di Masa Silam Lebih Kurang 30 Tahun Yang Lalu, Pangkalpinang: 30 Juni1976” disebutkan bahwa sekitar pertengahan September 1945, Munzir, H. Muhidin, Badaruddin, Hasan Cik dan Marzuki Husin menghimpun eks anggota Giyugun dan Heiho di Pangkalpinang. Mereka kemudian mengadakan pertemuan di eks Kompleks Giyugun dan menetapkan delapan keputusan sebagai berikut:
- Barisan perjuangan diberi nama Badan Keamanan Rakyat yang disingkat BKR sesuai dengan sebutan di Pulau Jawa.
- Anggota BKR diasramakan. Urusan pangan untuk sementara waktu ditanggung oleh H. Muhidin dan Badaruddin.
- Markas BKR berkedudukan di Pangkalpinang, yakni di eks Kompleks Giyugun.
- Pimpinan tertinggi BKR dijabat oleh Mayor. H. Muhidin sekaligus menjabat Pimpinan BKR wilayah Pangkalpinang.
- Pimpinan BKR wilayah Bangka dijabat oleh Munzir.
- Kepala Asrama dijabat Hasan Cik.
- Perlengkapan dan Keuangan dijabat oleh Badaruddin.
- Angkutan kendaraan serta mobilisasi dipercayakan kepada Marzuki Husin dan Saat.
Dalam waktu singkat BKR bentukan Munzir dan kawan-kawan mendapat sambutan positif dan didukung sepenuhnya oleh rakyat. Rakyat tak segan-segan menyumbangkan hasil ladang mereka untuk keperluan pangan BKR. Bahkan berkat kerja sama antara para pendiri BKR dan rakyat akhirnya beberapa wilayah vital seperti Mentok, Sungailiat, Toboali, Koba, Belinyu, Sungaiselan, Petaling, Kelapa dan Jebus berhasil dibentuk Kompi BKR.
Baik BKR, API maupun GRI bersama-sama mengawasi kondisi keamanan wilayah Pulau Bangka dari ancaman musuh. Sebab pada saat itu, keamanan di Pulau Bangka khususnya Pangkalpinang masih sangat rawan. Status pemerintahan sipil tidak jelas, karena secara hukum pihak Jepang belum menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada rakyat Bangka. Jepang masih mempertahankan kekuasaan militernya yang disebut Bangka Gunseibu. Rakyat Bangka belum berdaulat dan tidak diberi kesempatan memegang tampuk pemerintahan sepenuhnya, kendati pada saat itu telah memiliki semacam badan pemerintah daerah (keresidenan) yang disebut juga Komite Nasional Indonesia (KNI), diketuai oleh eks Syu Sangi Kai bernama Masyarif Datuk Bandaharo Lelo.
Kondisi ini diperparah dengan tindakan semena-mena militer Jepang terhadap rakyat pribumi. Penjarahan terhadap hasil ladang rakyat hampir terjadi di mana-mana. Hasil jarahan tersebut dikumpul oleh para tentara Jepang di lumbung-lumbung padi di wilayah Bangka Selatan, dan sebagian dibagi-bagi kepada warga Tionghoa yang membantu tentara Jepang.
Untuk memulihkan keamanan di Pulau Bangka dari tindakan semena-mena tentara Jepang dan antek-anteknya, Munzir atas perintah H. Muhiddin mendatangi Masyarif untuk membantu perjuangan BKR, khususnya persoalan persenjataan yang minim dan masalah pangan yang selama ini sangat bergantung dengan sumbangan dari rakyat. Namun usulan Munzir tidak disetujui oleh Masyarif dengan alasan pemerintah daerah (KNI) tidak memiliki biaya. Lagi pula Masyarif beralasan, kalau persoalan keamanan sudah ia serahkan tanggung jawabnya kepada Polisi.
Keputusan Masyarif yang tidak mau membantu kebutuhan BKR membuat kecewa para pentolan BKR. Apalagi terkait keputusan Masyarif yang menyerahkan urusan keamanan kepada satu pihak yakni Polisi. Sebab kondisi saat itu dibutuhkan kerja sama segenap pihak, dan tanggung jawab keamanan menjadi tugas bersama yakni Polisi, BKR, API, GRI dan organisasi perjuangan lainnya.
Sehari setelah pertemuan Munzir dengan Masyarif, datang seorang perwira Sekutu dari Mentok. Kedatangan perwira ini beralasan hendak membicarakan soal penarikan tentara Jepang dari Bangka Belitung.
Di pihak BKR, Polisi, API, GRI maupun rakyat, kedatangan perwira sekutu tersebut disikapi dengan penuh curiga, jangan-jangan ada maksud tertentu di balik kunjungan yang mendadak tersebut.
Lain halnya dengan warga keturunan (Tionghoa) di Pangkalpinang, kedatangan perwira sekutu disambut dengan gegap gempita. Mereka berbondong-bondong mendatangi Kantor KNI (Residen) bermaksud hendak menyambut perwira sekutu tersebut. Keadaan ini membuat Masyarif panik, personel anggota Polisi tidak cukup membendung warga keturunan yang menyambut gembira kedatangan perwira sekutu. Masyarif juga khawatir kalau-kalau terjadi kisruh antara warga keturunan dengan warga pribumi yang berbeda sikap dalam merespon kedatangan perwira sekutu.
Dengan alasan menjaga keamanan, Masyarif menghubungi para tokoh BKR untuk meminta bantuan. Akan tetapi, permintaan Masyarif tidak langsung diterima oleh pimpinan BKR mengingat sebelumnya, Masyarif juga pernah menolak permohonan BKR dan terkesan tidak mengakui keberadaan BKR. Permintaan permohonan bantuan keamaan di Kantor KNI itu baru dipenuhi oleh pimpinan BKR setelah Masyarif atas nama pemerintah (KNI) mengakui keberadaan BKR Bangka Belitung. Pertemuan Masyarif dengan perwira sekutu tersebut berlangsung aman dengan penjagaan ketat dari pihak BKR, Polisi, Api dan GRI. (Bersambung)
=====
Ichsan Mokoginta Dasin adalah seorang penulis sekaligus jurnalis yang pernah bekerja di sejumlah media, baik cetak maupun online (sejak 1991 – sekarang). Ia sudah menulis sejumlah buku di antaranya biografi sejumlah tokoh, sastra dan budaya, serta buku sejarah perjuangan di Pulau Bangka (Palagan 12: Api Juang Rakyat Bangka). Selain konsen menulis persoalan budaya dan sastra, sesekali kelahiran Pangkalpinang, 6 Juli 1971 ini, juga ‘berceloteh’ soal politik lokal dan kritik sosial. Ia juga kerap diundang menjadi pembicara dan juri dalam ‘hajatan’ sastra, budaya dan sejarah tingkat kabupaten dan Provinsi Bangka Belitung.