Oleh: Ichsan Mokoginta Dasin
SECARA embrio, Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang pada awal berdiri bernama BKR, TKR dan TRI, sebenarnya sudah terbentuk di Pulau Bangka sejak awal September 1945 atau satu bulan sebelum diresmikannya tentara nasional dengan nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada tanggal 5 Oktober 1945 di Jakarta.
Saat itu organisasi ketentaraan nasional belum bernama TNI, melainkan berproses dari nama BKR, TKR, TRI, TNI, ABRI hingga dinamai kembali dengan TNI.
Secara nasional, Badan Keamanan Rakyat yang kemudian disingkat menjadi BKR berdiri pada 22 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan diumumkan secara resmi oleh Presiden Soekarno pada 23 Agustus 1945. (F Sugeng Istanto: 1992).
Awalnya organisasi yang berisikan para pemuda tanah air eks KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger), yang salah satu perwiranya yakni Oerip Soemohardjo, milisi PETA (Pembela Tanah Air) yang dikomandoi oleh Soepriyadi dan para pemuda lainnya ini, merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP). BKR juga berafiliasi dengan rakyat dan bertugas untuk melakukan pemeliharaan keamanan bersama rakyat.
Sayangnya kendati disokong mayoritas pemuda, keberadaan BKR tidak didukung oleh sebagian pemuda lainnya. Pemuda yang kontra BKR kemudian membentuk organisasi perjuangan sendiri seperti Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI), Angkatan Muda Indonesia (AMI), Balai Penerangan Pemuda Indonesia (BPP), dan beberapa barisan perjuangan lainnya yang mengatasnamakan kaum muda ketika itu.
Pada tanggal 5 Oktober 1945, Pemerintah Indonesia melebur BKR dan beberapa organisasi perjuangan pemuda dengan nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Peristiwa peleburan BKR dan sejumlah organisasi perjuangan pemuda ini, juga menjadi tonggak baru lahirnya organisasi ketentaraan nasional sekaligus menjadikan TKR sebagai angkatan perang pertama yang didirikan oleh Pemerintah Indonesia, dan menetapkan 5 Oktober 1945 sebagai hari lahirnya TKR yang kini bernama TNI.
Pembentukan TKR bertujuan untuk mengatasi situasi yang mulai tidak aman karena Belanda dengan membonceng Sekutu ingin kembali menguasai Indonesia sebagai wilayah koloni. Oleh sebab itu, para pemimpin bangsa merasa penting membentuk angkatan perang yang tangguh jika suatu waktu harus melakukan pertempuran untuk mempertahankan Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 selain melalui jalur diplomasi.
Untuk menyusun organisasi ketentaraan dipercayakan kepada mantan perwira KNIL, Oerip Soemohardjo. Sebagai seorang perwira KNIL berpangkat Letnan dan pernah bertugas di beberapa pulau besar di Indonesia, Oerif menguasai betul strategi perang, termasuk geriliya. Dengan dipercaya menjadi ‘arsitek’ organisasi TKR ini pula yang kelak menjadikan nama Oerif Soemohardjo sebagai tokoh peletak dasar berdirinya TNI Republik Indonesia.
Pada tanggal 26 Agustus 1945, ditunjuklah Soepriyadi eks milisi PETA sebagai Menteri Keamanan Rakyat RI (Kompas: 5 Oktober 2022). Selain menjabat Menteri Keamanan Rakyat, sejatinya Soepriyadi juga bertanggung jawab terhadap keberlangsungan TKR.
Sampai dengan awal bulan November 1945, TKR tidak memiliki pimpinan tertinggi karena Supriyadi tidak pernah muncul untuk menduduki jabatannya. Maka untuk memilih pimpinan tertinggi, TKR mengadakan konferensi pada tanggal 12 November 1945 di Yogyakarta. Di bawah pimpinan Kepala Staf Umum TKR, dilakukan pemilihan Pimpinan Tertinggi TKR. Terpilihlah Panglima Divisi V Komandeman Jawa Tengah, Kolonel Soedirman sebagai Pemimpin Tertinggi TKR. Soedirman sendiri baru dilantik sebagai Panglima Besar TKR pada tanggal 18 Desember 1945, dengan pangkat Jenderal. (Markas Besar TNI: 2000).
Sedangkan rivalnya yakni Oerip Soemohardjo, diangkat menjadi Kepala Staf, jabatan yang satu tingkat lebih rendah dari jabatan Panglima. (Liputan6.com: 12 November 2021).
Dengan berdirinya angkatan perang RI bernama TKR di Jakarta ini selanjutnya mensuport berdirinya organisasi yang serupa di daerah-daerah, termasuk di Bangka Belitung.
Dalam catatan yang ditulis eks Perwira Giyugun, Kapten Munzir Thalib, berjudul “Sepintas Kilas Kenangan di Masa Silam Lebih Kurang 30 Tahun yang Lalu, Pangkalpinang: 30 Juni 1976” mengungkapkan bahwa gagasan pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Bangka Belitung berlangsung sekitar awal September 1945. (Ichsan Mokoginta Dasin dan Dody Hendriyanto: 2008).
Peristiwa tersebut diawali dengan diskusi kecil antara Munzir dan dua orang sahabatnya yakni Hasan Cik mantan Giyugun (laskar rakyat yang dipersenjatai oleh Jepang) dan Marzuki Husin mantan Heiho (pasukan militer atau angkatan perang bentukan Jepang).
Munzir sendiri merupakan satu-satunya perwira Giyugun yang berasal dari putra daerah (Bangka) berpangkat Kapten menjabat sebagai Sytaco (semacam pimpinan laskar khusus dalam organisasi Giyugun) dan bertugas di Mentok. Ia dipulangkan Jepang ke kampung halamannya Desa Petaling setelah Giyugun dibubarkan pasca Proklamasi 17 Agustus 1945.
Diskusi yang berlangsung awal September di rumah kediaman orangtua Munzir di Desa Petaling ini, membahas banyak hal dan menjadi momentum awal terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Bangka Belitung. Tak berlebihan pula jika tiga sahabat ini yakni Munzir, Hasan Cik dan Marzuki Husin disebut sebagai peletak dasar berdirinya TNI di Bangka Belitung. (Bersambung)
=====
Ichsan Mokoginta Dasin adalah seorang penulis sekaligus jurnalis yang pernah bekerja di sejumlah media, baik cetak maupun online (sejak 1991 – sekarang). Ia sudah menulis sejumlah buku di antaranya biografi sejumlah tokoh, sastra dan budaya, serta buku sejarah perjuangan di Pulau Bangka (Palagan 12: Api Juang Rakyat Bangka). Selain konsen menulis persoalan budaya dan sastra, sesekali kelahiran Pangkalpinang, 6 Juli 1971 ini, juga ‘berceloteh’ soal politik lokal dan kritik sosial. Ia juga kerap diundang menjadi pembicara dan juri dalam ‘hajatan’ sastra, budaya dan sejarah tingkat kabupaten dan Provinsi Bangka Belitung.