Lembah Harau, Apa Hendak Dikata

Muhammad Bayu Vesky

Limapuluh Kota, Kliksumatra. com—Inilah kisah tentang Lembah Harau, Grand canyon di Indonesia. Anugerah semesta yang terletak di Limapuluh Kota, Sumatera Barat itu, dikelilingi tebing granit terjal dengan ketinggian 80 hingga 300 meter. Aduhai pokoknya.

Data Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Limapuluh Kota per tahun 2019, kunjungan wisatawan lokal dan mancanegara setiap tahunnya, menembus 450.000 jiwa. Angka ini, mengalami trend kenaikan pada 2020 hingga hitungan 700.000 jiwa.

Saat Rakor Pariwisata Juni 2021 lalu, Pemkab Limapuluh Kota memasang target, tahun 2022 ini jumlah kunjungan menjadi 2 juta jiwa. Ini dipresentasikan di ruang publik, mengundang pihak destination branding pula. Dipoles narasinya seoptimis mungkin.

Tapi tuen, optimisme Pemkab, agaknya harus dipinggirkan dulu. Serius ini kawan. Masih banyak hal krusial mesti diperbaiki. Dievaluasi dengan kaffah.

Dari sistym pengelolaan Harau yang mengalami kebocoran hebat, hingga status puluhan titik objekwisata swasta yang tak kunjung jelas izinnya. Terbentur status hutan dan kawasan.

Lembah Harau yang kaya pesona ini, hanya mampu mencetak pendapatan daerah setahunnya Rp1 miliar lebih sedikit dari target Rp3,5 miliar pada 2021. Jika dilelang ke swasta, sudah banyak yang berani pasang target realisasi di angka Rp5 miliar setahunnya.

Kenapa bisa bocor? Penyebabnya antara lain, jaringan pengaman potensi pendapatan daerah ini masih prematur. Ketika dikelola dengan cara konvensional oleh Pemkab, banyak tangan-tangan yang rentan bermain. Di sini, Pemerintah Daerah sebagai representasi negara, sudah kalah.

Selain itu, Pemkab belum kunjung transparan dalam meningkatkan potensi pendapatan dan penerapan yang menjadi pondasi tata kelola pemerintah.

Tidak sulit benar memantau kebocoran pendapatan daerah di Lembah Harau. Pergilah masuk ke sana, pakai mobil agak beberapa buah. Jangan kaget, uang wisatawan dimintak, lalu disuruh masuk. Tiket tak dikasih. Bak membayar uang takut kita ke Harau. Kelewatan. Saya paling tak terima negara kalah oleh preman. Entah kalau Pemkab!

Selain itu, pendapatan dari penginapan, objekwisata dan tempat permainan, juga tak jelas standarnya. Apa sebab? Ketika banyak kawasan wisata tak berizin berdiri, maka saat itu pula Pemkab tak berdaya memungut ke sana.

Orang bebas membangun, sesukanya saja. Izin mendirikan bangunan dan seabrek izin lainnya, itu nomor sekian. Tak perlu benar. Tapi, tidak semua objekwisata dan penginapan swasta begitu, ada juga yang berizin. Hehe

Ihwal bangunan yang tak berizin ini, Pemkab harusnya bertindak komprehensif. Bantu pelaku usaha mengurus izinnya. Mana yang terbentur dengan kawasan hutan suaka, ya dudukan dengan BKSDA. Diurus. Sepanjang sesuai aturan, mainkan. Jika tak bisa, segel. Memang ada kalanya, Bupati dan anak buah, tak perlu takut jika dianggap tak populis. No problem.

Sebenarnya, kenapa Pemkab harus ngilu pusat membereskan ini? Buatlah Satuan Tugas. SK-kan. Cukup dengan Perbup. Libatkan keterwakilan semua pihak di dalam. Terutama anak nagari. Ada standar kerja Satgas. Dengan bismillah, yuk kita benahi Lembah Harau. Percayalah, Pemkab tak bisa jalan sendiri. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *